Pada suatu sore terdapat seorang cowok sedang asyik duduk bersandar dikursi depan rumahnya dengan jari-jarinya yang lincah memainkan senar gitar sehingga terdengar alunan suara yang merdu. Cowok itu bernama Reza, music dan basket adalah kesukaanya. Baginya, music adalah jiwanya dan basket adalah raganya.
Tak lama kemudian terdengar deru suara motor memasuki halaman rumahnya, terlihat seorang gadis turun dari motor dan tersenyum manis padanya. Cewek itu tak lain adalah Vani sahabat Reza, mereka bersahabat sejak duduk dikelas 1 SMP, tapi sekarang mereka bukan anak kecil lagi mereka sudah duduk dibangku SMA, lebih tepatnya kelas 2 SMA. Persahabatan yang mereka bangun sangat solid bagaikan bumi dan bulan, saling melengkapi, dan saling mendominasi satu sama lainnya, dimana ada bumi disitu ada bulan begitu juga dengan mereka, dimana ada Reza disitu ada Vani.
Dengan segera Vani menghampiri sahabatnya itu.
“Hai Rez…”
“Hai Van..”
“Lagi asyik nih, ajari gue donk!”
“Ah, loe ma diajarin sampai kapanpun mana bisa. Kan loe lemot.... Hahahahahaha” kata Reza sambil mengacak-acak rambut sahabatnya itu.
“Yeeeee…. Enak aja, biarin gue lemot. Biarpun lemot loe mau jadi sahabat gue aja.”
“Hahahahaha… iya-iya. Apa sih yang nggak buat sahabatku yang satu ini. Btw kamu ada apa kesini, kangen ya?”
“Ahahahaha… PD banget sih loe.. Gue mau curhat nih sama loe..”
“Curhat apa?”
“ Gue kok bosen ya sama hidup gue yang kaya gini-gini terus. Gue pengen sesuatu hal yang baru.”
“Maksud loe?? Sesuatu yang baru seperti apa?”
“Gue pengen belajar maen drum Rez.”
“Hah..???!!! Loe mau belajar maen drum? Vin, mae drum itu nggak gampang… Kenapa loe nggak belajar maen gitar aja atau yang lain gitu?”
“Nggak asyik Rez kalau maen gitar. Kalau gue lihat ada orang yang maen drum itu kelihatannya asyik dan power full gitu. Gue jadi kepengen bisa..”
“Iya.. tapi yang lain aja ya?”
“Nggak mau, gue maunya bisa pengen maen drum. Ayo lah, mau ya? Ajarin gue …”
“Oke, tapi gue nggak begitu ahli kalau masalah drum. Tapi gue punya temen yang bisa ajarin loe, gimana?”
“It’s okey, gue coba dulu. Kalau teman loe tu baik gue mau di ajarin ma dia tapi kalau genit gue nggak mau.”
“Sip.. gue jamin dia baik kok… Oh iya,besok gue berangkat sama loe ya? Motor gue lagi dibengkel nih..”
“Yah nebeng…”
“Itung-itung imbalan donk gue mau bantuin loe belajar maen drum”
“Tapi kan yang ngajarin gue nanti temen loe, bukan loenya..”
“Kan temen gue, kalau nggak ada gue, loe juga nggak bakal kenal dia kan… Ayolah, mau ya?”
“Iya deh iya… apa sih yang nggak buat loe.”
“Makasih Vina, loe emang baik deh..”
“Hmmm.. kalau ada maunya aj baru bilang gue baik. Kalau nggak ada maunya, bilang gue lemot.” Kata Vina sambil memanyunkan bibirnya 5 centi.
“Hahahahahaha… lucu banget wajah loe kalau gitu. Tambah bikin gue gemes aja sama loe..” tukas Reza sambil tangannya tak henti-hentinya mencubit pipi Vina yang tembem itu dengan gemasnya.
Keesokan harinya disekolah Reza Vani menjemput Reza didepan rumahnya sesuai perjanjian yang mereka buat kemarin.
“Ayo berangkat Van…” ajak Reza sambil mengambil alih kemudi sepeda motor Vani.
“Okey..” Vani pun pindah ke belakang.
“Gue mau ngenalin temen gue yang kemarin gue certain ke elo, jadi agak cepat ya..” kata Reza sambil mulai menjalankan sepeda motor.
“Tapi jangan ngebut-ngebut, gue takut.”
“Iya, gue kan tau kalau sahabat gue yang satu ini takut kalau dibonceng dengan kecepatan tinggi. Tapi jangan salah kalau lagi naik sendiri, Huuuu… jadi pembalap dadakan dia..” kata Reza urung menjalankan sepeda motor.
“Udah jalan . Jangan banyak komentar. Awas kalau ngebut!” kata Vani sambil menepuk pundak Reza pelan.
Namun tiba-tiba ada perasaan aneh yang datang di hati Reza saat dia membonceng Vani. Entah perasaan apa itu? Apakah itu cinta? Sebenarnya Reza telah lama merasakan perasaan itu ke Vani, tapi dia takut Vani akan marah jika dia tau sesungguhnya perasaannya ke Vani. Sehingga akan menghancurkan persahabatan yang mereka bangun selama ini. Toh, Vani juga selalu ada buat Reza, saat dia sedih, saat dia senang, saat dia susah, pokoknya Vani selalu ada buat Reza dikala sedih maupun senang, itu sudah cukup bagi Reza. Disepanjang perjalanan Reza mencoba menahan perasaannya itu, agar dia tidak terlihat gugup, canggung dan salting di depan Vani. Kelihatannya Vani tidak menyadari itu, dia hanya diam dan memperhatikan sepanjang jalan aja. Untuk mengusir rasa itu Reza mencoba untuk berbincang-bincang dengan Vani. Sesampainya disekolah.
“Ayo ikut gue ke kanti dulu, dia udah nunggu disana.”
“Ummm… Ya udah ayo, gue jadi penasaran kaya apa sih temen loe itu.” Kata Vani sambil berjalan menuju kantin.
“Jangan kaget ya, dia itu pindahan dari Makasar jadi termasuk murid baru.” Jawab Reza sambil mengimbangi jalan Vani.
“Ow, gue emang pernah denger ada murid yang baru pindah tapi gue nggak tau kalau dia dikelas loe. Loe nggak cerita sih. Tapi jauh juga ya, Makasar sampai bisa nyasar ke Bandung.”
“Biasanya kan loe emang nggak pernah mau tau kalau yang masalah gitu-gitu. Jadi ya gue nggak bilang ke elo.”
“Hmmm… Iya ya…”
“Tenang aja dia ganteng kok.”
“Idih… So, apa hubungannya gitu.”
“Hahahahaha… sapa tau ntar loe kecantol ma dia.”
“Hahahahaha… lucu.” Kata Vani sambil cemberut.
“Gitu aja ngambek, abisnya selama ini gue belum lihat loe ama cowok. Jangan-jangan loe nggak suka cowok ya, sukanya ma cewek…???”
“Ihhhh… Enak aja, nggak lah. Gue masih normal tau.” Kata Vani sambil menjambak rambut Reza.
“Adu sakit Van.. lha trus apa donk, kenapa selama ini loe masih jomblo melulu?”
“Gue mau jujur sesuatu sama loe Rez.”
“Apa itu?”
“Sebenernya gue udah punya cowok, tapi di luar kota. Karena dia jauh itu makanya gue nggak kenalin ke elo Rez.” Terang Vani sambil menghentikan langkahnya dan menatap Reza.
Seketika seperti tersambar petir di pagi hari yang cerah saat reza mendengar kata-kata yang di ucapkan Vani barusan. Hatinya hancur mendengar itu, lidahnya kelu tak mampu mengucapkan sepatah katapun, kakinya bagai lumpuh seketika tak mampu melangkah, wajahnya tertunduk tak mampu menatap ke depan, menatap wajah Vani. Rasanya dia ingin menangis saat itu juga, tapi dia tahan itu agar Vani tidak tau. Dia mencoba menguasai dirinya, bersikap biasa saja pada Vani dan menunjukan kalau dia tidak apa-apa. Tapi kesedihan itu terlihat jelas di wajahnya, Vani menyadari itu. Tapi dia salah menafsirkannya, diaa mengira bahwa reza kecewa padanya karena dia tidak jujur sejak awal. Dia hanya memandang Reza yang diam tertegun tanoa berkomentar apapun, sehingga timbul keberaniaanya untuk bertanya pada Reza.
“Loe nggak apa-apa kan Rez?” Tanya Vani sambil memegang pundak Reza lembut.
Itu membuat Reza tersadar.
“Ah, gue nggak apa-apa kok. Sejak kapan Van? Loe kenapa nggak cerita dari awal sih, gue kan juga bahagia kalau loe bahagia.”
“Udah lama sih Rez. Sekitar 8-9 bulannan mungkin. Loe nggak marah kan?”
“Lumayan lama juga ya? Kenapa gue nggak sadar sih. Ya nggak lah.. Kenapa gue harus marah?” kata Reza berusaha tersenyum.
“Syukurlah kalau gitu. Gue takut loe marah dan ninggalin gue. Loe berarti buat hidup gue Rez.”
Reza hanya tersenyum mendengar kata yang di ucapkan Vani. Dalam hatinya berkata “ Gue nggak akan pernah ninggalin loe Van. Karena gue sayang banget sama loe lebih dari sekedar seorang sahabat. Gue takut loe akan marah kalau loe tau perasaan gue yang sebenarnya. Justru gue yang takut akan kehilangan loe, gue takut loe akan berubah sikap ke gue, menjauhi gue setelah loe jujur soal pacar loe itu. Tapi gue seneng setidaknya gue loe anggap masih berarti di hidup loe sampai sekarang ini. Seandainya loe punya perasaan yang sama ke gue Van?.”
“Hoe… kok bengong sih… ayo jalan, katanya temen loe udah nunggu.” Triak Vani menyadarkan lamuna Reza.
“Nggak usah triak-triak kali neng… sekolah bu, bukan hutan.”
“Ngledek ya..??”
“:P” sambil mengacak-acak rambut Vani dan berlari.
“Hey, kurang ajar loe..” triak Vani sambil mengejar Reza.
Sesampainya di kantin Reza memutar penglihatannya ke segala penjuru kantin mencari sosok yang sedang dia cari. Akhirnya dia menemukan orang itu di meja paling pojok, Reza pun mengajak Vani mengahampiri cowok tersebut.
“Hay, sorry ya udah lama nunggu..” sapa Reza pada cowok itu sambil menepu punggungnya.
“Hay juga, nggak apa-apa kok. Santai aja bro..” sambil menenggok kearah sumber suara.
Vani terkejut bukan main saat melihat cowok yang akan jadi guru bermain drumnya, begitu juga dengan cowok itu. Dia tidak menyangka ternyata cewek yang di maksud Reza itu Vani. Cowok itu adalah Rio yang ternyata cowok Vani dari Makasar. Belum habis terkejut dengan kehadiran Rio yang tiba-tiba Vani dibuat terkejut lagi oleh perlakuan Rio yang seolah-olah tidak mengenal Vani.
“ Hay, jadi loe temennya Reza yang mau belajar drum. Namanya siapa?’
“Gue Vani.” Kata Vani mengikuti sandiwara Rio.
Mereka pun berbincang-bincang sampai terdengar bel tanda pelajaran dimulai. Selama itu pula Vani merasa sangat tidak nyaman dengan keadaaan ini tapi tidak denagan Rio. Mereka sepakat akan memulainya akhir minggu ini.
Setelah pulang sekolah, Reza memilih untuk tidak pulang bersama Vani. Dia masih begitu sedih dengan pengakuan Vani tadi. Wajahnya nampak murung dan seperti tidak ada gairah untuk melanjutkan hidupnya. Sesampainya dirumah, dia mengurung dirinya dikamar seharian penuh dan menangis sejadi-jadinya hingga dia merasa air matanya habis.
Di tempat lain Vani bertengkar dengan Rio yang tidak mengakui dia sebagai pacarnya dan pura-pura tidak kenal dengan dia. Terlihat wajah geram Vina dengan semua ini, tapi Rio berusaha meyakinkannya bahwa Rio hanya cinta pada Vani dan sandiwara serta kebohongan itu nggak berarti apa-apa. Rio meminta maaf pada Vani dan membujuk Vani agar tidak marah lagi padanya dengan rayuan-rayuan gombal khas cowok. Akhirnya Vani luluh juga dan memaafkan Rio tapi ternyata omongan Rio tidak dapat dipercaya, ketika teman sekelas Vani yang mendekati Rio bukannya dia menghindar malah dia fine-fine aja. Memang Rio cukup populer di sekolah, dia ganteng, tinggi, putih, kaya, jago maen drum, kapten footsall pula. It’s very perfect to women.
“Hay Rio sedang apa? Kok sendirian aja.” Tanya Manda teman sekel as Vani.
“Lagi bosen aja.” Jawab Rio sambil tersenyum.
“Akhir-akhir ini gue lihat loe deket sama Vani.”
“Emang kenapa kalu gue deket sama Vani?”
“Nggak apa-apa juga sih.. Loe pacaran ya sama Vani?”
“Ya nggak lah, dia Cuma gue anggap teman biasa aja. Gue tu masih jomblo kali.”
“Owww…”
“Kenapa? Cemburu ya loe? Gue nggak ada hubungan apa-apa kok ma Vani, tenang aja.”
Manda hanya tersenyum mendengar jawaban Rio. Tanpa mereka sadari percakapan itu didengar oleh Vina. Akhir-akhir ini emang Rio lagi deket sama Manda, dan gossipnya kalau Rio itu suka sama Manda. Rio emang nggak pernah mengklarifikasi kalau Vani adalah pacarnya, jika ditanya dia hanya menjawab kalau vani itu temannya saja. Jadi itu lebih leluasa membuatnya bertingkah laku seenaknya, sok keren dan sok jago. Saat satu sekolah dengan Vani aja dia kaya gitu gimana saat dia jauh dari vani, pas di Makassar dulu ya? Vani pun berlari dan menangis, dia kecewa dengan Rio, hatinya telah dilukai olehnya, kejadian itu dilihat oleh Reza. Segera Reza mengejar Vani yang menangis.
“Elo kenapa Van? Kenapa loe nangis?” Tanya Reza. Tapi Vani hanya terdiam saja, seperti tak mau dia membuka mulutnya lagi untuk bicara.
“Van, gue kan sahabat loe, loe cerita donk ke gue. Sebenarnya loe kenapa, loe ada masalah? gue siap jadi tempat curhat loe.” Kata Reza lagi sambil memeluk Vani dengan kasih sayang.
Pada saat itu Vani merasakan nyaman dipeluk oleh sahabatnya itu. Rasa tak mau pisah dan kehilangan muncul dari dirinya. Dia merasa jika dia begitu sayang pada Reza. Dia menangis sejadi-jadinya dipelukan reza, sehingga dia merasa tenang dan aman.
“Gue mau bilang sesuatu ke elo Rez.” Kata Vani akhirnya dia mau cerita ke Reza.
“Tentang apa?”
“Gue mau bilang kalau sebenarnya , pacar yang gue ceritain ke elo itu adalah Rio.”
Reza kaget bukan main. Dia berfikir, bukankah Rio pacar Manda (gitu gossipnya), saat ku kenalin dulu mereka bukannya saling tidak kenal, apakah ini semua bohong. Jika benar sungguh b******* si Rio itu. Akan kuhajar dia, sudah buat cewek yang gue cintai nangis kaya gini.
“Haaaahhhh…. Tapi dulu waktu aku kenalin kamu dan dia tidak saling kenal, dan bukannya Rio pacarnya Manda ya?”
“Dia emang yang membuat sandiwara ini Rez. Dan bodohnya aku mau mengikuti semua permainan konyolnya itu. Dia pura-pura nggak kenal sama aku, dia bilang ke teman-teman semuanya kalau aku dan dia hanya sebatas teman biasa saja. Aku kecewa sama dia Rez.”
“Bener-bener tu anak, biar gue hajar dia. Udah berani buat sahabat yang gue menangis.”
“Udah Rez, jangan..”
“Tapi gue nggak terima sahabat gue disakiti hatinya.”
“Udah, nggak apa-apa. Mungkin emang dia udah nggak sayang lagi sama gue, mungkin emang gue yang salah karena gue sayang sama dia. Gue sadar sekarang kalau cinta dia emang bukan gue, jadi buat apa gue cinta sama dia. Gue lupain semua ini.”
Reza hanya terdiam dalam hatinya dia bersedih melihat cewek yang dia cinta menangis didepannya. Tapi dia bisa apa, Vani hanya cinta pada Rio meskipun dia sudah disakiti olehnya dan Reza pun juga tidak bisa mengungkapkan perasaannya pada Vani, biarlah hanya dia yang tau tentang perasaannya pada Vani. Dia refleks memeluk Vani, dia menghibur Vani sehingga cewek itu tenang.
Dalam hatinya dia berkata “Seandainya gue mampu untuk ngungkapin perasaan gue ke elo lebih awal Van. Gue pasti nggak akan sakiti loe, dan gue jamin loe nggak bakal sedih dan nangis kaya sekarang ini. Gue sayang banget sama loe Van, gue cinta sama loe. Gue akan jaga hati loe, gue akan buat loe tersenyum teris Van.”
Dalam hati Vani berkata “Seandainya sikap Rio seperti loe Rez, gue pasti bahagia banget sekarang ini. Loe baik banget Rez, sikap loe yang selalu ada buat gue disaat gue butuhin loe. Seandainya loe pacar gue Rez… Tapi itu nggak mungkin, gue takut loe marah Rez, gue takut kehilangan loe. Hidup gue bergantung sama loe Rez, loe segalanya.”
“Ya udah sekarang kita pulang aja ya Van. Loe nggak usah pikirin Rio lagi, lupain aja dia. Loe hapus air mata loe sekarang, air mata loe terlalu berharga buat seorang seperti Rio doank.” Kata Reza sambil menghapus air mata yang menetes di pipi halus Vani dengan tanganya yang lembut.
Vani hanya tersenyum dan diam saja.
“Nah gitu donk. Itu baru Vani gue, Vani yang gue kenal. Vani yang ceria dan suka melakukan hal-hal gila yang nggak masuk akal.”
“Hahahahaha. Bisa aja loe Rez.”
“Vani yang gue kenal adalah Vani yang selalu tersenyum. Jelek tau kalu loe nangis. Tambah panjang aja tu bibir.”
“Tetep ya Reza yang selalu ngledek gue. Awas lho, lama-lama bisa jatuh cinta loe sama gue. Hahahahahaha.”
Reza tersedak dengan perkataan Vani baru saja.
“Hahahahahaha. Bisa aja loe.. nggak mungkin lah gue jatuh cinta sama loe.”
“Hehe.. Iya ya, kita kan sahabat.”
Reza hanya terdiam saja.
“Rez, loe denger nggak sih…”
“Eh..eh… Iya. Kita kan sahabat.”
“Gitu donk!” kata Vani sambil menepuk punggung Reza.
“Aduh sakit tau Van.” Kata Reza sambil memeganggi punggungnya dan meringis kesakitan.
“Sakit ya Rez. Sorry ya, gue nggak sengaja.”
“Sakit tau…”
“Aduh maaf deh.. Beneran sakit ya Rez?”
“Bo’ongan. Weeeeekkkk…”
“Yeeeee. Dasar Reza ah…”
“Hahahaha.. loe kuwatir ya, ngaku deh..”
“Iya, kenapa? Lagian loe pakek pura-pura segala.” Kata Vani sambil mencubit Reza, kali ini mungkin benar-benar sakit.
“Aduh Van. Beneran sakit kalau yang ini.”
“Bodo…”
Reza tak mau kalah dengan Vani. Dia mencubit pipi Vani dengan gemasnya.
Mereka pun tertawa bersama. Sejak saat itu Vani sudah tidak berhubungan lagi dengan Rio. Dan hari-harinya hanya dihiasi oleh Reza sahabatnya.
Dalam hati Reza berkata “Memang aku tidak mampu untuk mengungkapkan perasaanku sekarang Van. Tapi aku janji suatu saat aku akan ungkapin sebenarnya perasaanku bahwa sesungguhnya aku cinta dan aku sayang sama kamu Vani sahabatku .”
0 komentar:
Posting Komentar